Trap

Kemarin, ketika aku mencari teman untuk makan siang gratis di fakultas, aku memberanikan diri untuk meminta jadwal bimbingan pada dosen pembimbing skripsi. Lalu, bapaknya menawarkan jadwal hari Selasa pukul delapan pagi, alias pagi ini banget. Kuiyakan saja, daripada molor lagi?

Tadi pagi, aku tidur lagi sehabis subuhan dan bangun pukul 7:15. Aku segera bangun, siap-siap, dan berangkat ke kampus tanpa sarapan lebih dulu. Kampus sedang sepi waktu aku sampai, karena saat itu masih jadwal minggu tenang. Hanya ada satu-dua orang lewat. Aku berhenti sebentar untuk membetulkan sepatu olahraga biruku yang sudah cukup buluk. Not the usual atmosphere, pikirku. Setelah sepatuku kembali nyaman dipakai, aku melangkahkan kaki menuju lift. Di lift, aku memencet tombol “3”.

Keluar dari lift, aku tidak segera ke ruangan dosen pembimbingku. Aku pergi ke toilet dulu untuk membetulkan kerudungku yang tadi kugunakan sedikit asal-asalan. Eh, aku malah papasan dengan dosenku yang baru saja keluar dari ruangan S307. Kukatakan pada beliau aku mau ke toilet dulu.

Then, counseling session begun. Setelah kurang lebih sekitar setengah sampai hampir satu jam, aku berencana untuk turun ke lantai dua untuk tanya ke Mas Heri dulu soal hasil tes bahasa Inggris yang diwajibkan, tapi terus aku berpikir untuk pergi ke basement untuk makan dulu. Sekitar pukul sepuluh, aku langsung menggunakan lift untuk pergi ke lantai 6. Saat itu, semua lift masih berfungsi dengan baik. Karena lift kedua dan ketiga sudah berada di lantai satu dan keduanya naik, aku menunggu lift pertama yang turun dari lantai 6. Ketika aku melewati lantai 3, aku mendengar lift kedua sedang digedor-gedor. Kupikir lift-nya sedang diperbaiki.

Sampai di lantai 6, aku pergi ke sebuah ruangan yang melayani seputar pendaftaran maupun pengambilan hasil tes AcEPT. Kukatakan maksudku untuk meminta hasil tes, lalu bapak-bapak yang melayaniku berpesan agar aku kembali lagi hari Jumat dan memintaku menulis nama dan hasil tes di sebuah buku presensi. Keluar dari ruangan itu, aku menuruni bangunan itu menggunakan lift lagi. Kali ini, ada yang aneh. Dari luar aku mendengar ada suara emergency bell dari dalam lift, tapi aku tak tahu lift mana yang berbunyi. Aku kembali menggunakan lift pertama. Saat di dalam, kudengar emergency bell masih berbunyi. Sepertinya, ada sesuatu di lift sebelah, tapi aku tak berpikiran buruk. Lagi-lagi, aku terkejut mendengar suara belnya saat akan melewati lantai tiga. Suara belnya lebih nyaring dari sebelumnya. Kupikir, teknisinya lagi ngetes bel darurat atau ada orang iseng. Saat aku keluar lift, lift sebelahku–lift kedua–sudah tidak menyala lagi lampu penanda ruangannya. Aku masih berpikir kalau memang sengaja dimatikan karena ada maintenance, karena biasanya memang begitu. Ternyata, seseorang terjebak di dalam lift kedua. Seorang staf dan satpam fakultas kemudian menghampiri lift yang bermasalah itu untuk mengeluarkan siapapun yang terjebak di dalamnya.

Hal itu memicu rasa takut yang amat besar di dalam hatiku. Terjebak dalam sebuah ruangan sempit yang tidak memberimu banyak pilihan untuk keluar merupakan ketakutan terbesarku selain tenggelam di laut tanpa bisa mengandalkan apapun sebagai penopang dan badanku tertusuk atau dipotong menggunakan benda tajam. Aku tak tahu kenapa aku bisa setakut itu dengan hal itu. Di satu sisi, aku sangat senang kejadian itu tidak menimpaku, tapi aku juga takut. How if one day I am trapped like that?

Leave a Comment