A Repeated Chapter

Beberapa waktu setelah PPSMB, aku mulai merasakan rasa sedih dan takut kehilangan sekaligus. Perasaan itu muncul bersamaan dengan stres dan rasa kesal karena kesibukan yang makin menjadi (padahal sudah berharap menyusut) dan beberapa orang yang dalam sementara waktu menjadi super menyebalkan. Kupikir mungkin perasaan itu tumbuh karena hormonku sedang tidak stabil. Tapi, aku tidak akan datang bulan dalam waktu dekat. Awalnya, perasaan itu hanya sekilas. Kemudian, perasaan itu hilang timbul. Hari berganti, perasaan sedih dan takut kehilangan itu semakin kuat. Di malam-malam saat rasa itu muncul, aku menangis tersedu-sedu. Ini bahkan tidak seperti rasa sedih saat sahabatku pergi. Rasa ini mirip dengan ketika aku mulai ‘was-was’ saat mengetahui ‘zona waktu’ kapan gebetanku meninggal. Aku tahu, ini bukan pertanda bagus. Aku harus siap-siap. Orang terdekatku sepertinya akan mangkat.

***

Tahun ini, Rektor Cup yang kedua akan diselenggarakan. Ketua panitia, sekretaris, bendahara, dan koor-koor divisi sudah ditunjuk di pembubaran panitia Rektor Cup sebelumnya. Rapat pertama kami baru dimulai beberapa waktu setelah semester ganjil dimulai. Saat itu, aku sudah melupakan rasa sedih sekaligus takut kehilangan yang kudapat sebelum kuliah dimulai. Ah, mungkin saja itu hanya angin lalu, walau aku memang curiga kalau ada sesuatu yang tidak menyenangkan terjadi.

Hingga September datang, aku tak pernah benar-benar merasa bahagia. Maksudku, biasanya aku tidak pernah bad mood walaupun lagi banyak tugas, kecuali kalau stres. Kalau aku stres pun aku tidak pernah sampai merasa sedih. Di pertengahan bulan, koor panitia Rektor Cup mengadakan rapat. Rapatnya diadakan pada hari Kamis, tanggal 14 September.

Kami semua rapat di sekre UKM. Ada beberapa koor yang izin tidak bisa hadir dan izin datang telat. Salah satu koor yang izin datang telat adalah Eko. Kami memakluminya karena dia juga panitia POVVAF, semacam pekan olahraga di SV. Oh iya, aku harus memperkenalkan Eko sebelum lanjut cerita. Eko adalah mahasiswa D3 Teknik Mesin UGM angkatan 2016. Di Pengurus Harian, dia anggota divisi PSDM. Di Rektor Cup, dia jadi koor acara.

Oke, lanjut lagi. Rapat kami hanya membahas tentang anggaran per divisi. Setiap divisi mengoreksi anggaran biaya yang dibutuhkan selama acara. Anggaran yang dibutuhkan divisi acara dibahas saat Eko datang. Di sini, perasaan ganjil datang lagi. Waktu Eko datang dan mulai membahas anggaran divisinya, aku merasakan auranya agak ganjil. Ia tidak seperti seharusnya. Auranya terasa redup dan berkabut. Something’s not good gonna happen on him.

Besoknya, entah kenapa dia marah di grup PH. Aku tak tahu kenapa dia bisa sekecewa itu. Kulihat dari isi pesannya, sepertinya ada miskomunikasi dengan anak yang dimintai tolong. Setelah mengeluarkan unek-uneknya lewat tulisan, dia left dari grup. Tidak seperti ‘kasus’ left grup lain yang orangnya masuk lagi setelah keadaannya kembali dingin, aku mendapat perasaan tidak enak. Aku khawatir, bersalah, tidak nyaman, was-was, dan janggal. Aku merasa janggal karena sepertinya ada yang aneh. Pikiran pertama yang muncul adalah adanya sesuatu yang mungkin tersembunyi. Seharian aku memikirkannya.

Hari Sabtu, aku latihan fisik dengan anak-anak beladiri FIB. Tidak seperti pekan sebelumnya, hari itu banyak sekali yang izin. Kami hanya berempat. Aneh. Sabtu itu terlalu sepi. Tapi, karena sudah jadwalnya kami latihan, ya kami tetap latihan. Menjelang maghrib, kami selesai latihan fisik. Aku membuka LINE untuk melihat informasi terbaru.

Ketika membuka grup PH UKM, aku melihat Titis menanyakan kontak orang tuanya Eko. Titis adalah teman satu jurusan dan seangkatan Eko. Di UKM, dia bertugas sebagai bendahara. Ketua UKM menyarankan agar Titis nanya ke pacarnya, karena kami tidak punya kontaknya. Kami tahu, dengan Titis bertanya seperti itu, Eko sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja. Sebagian teman-teman pengurus maupun senior menjenguknya di RS Sardjito. Sayang, dia tidak tertolong. Menurut penuturan saksi, dia meninggal karen terpeleset saat melewati jalan pintas untuk ke spot yang lebih luas waktu dia dan beberapa panitia sedang melakukan sesuatu (aku tidak tahu detailnya) di lantai dua gedung kuliah. Teman-temannya melewati jalan aman, sementara dia malah lewat jalan pintas. Dia terpeleset dan badannya menghantam lantai dengan posisi telentang. Darah mengalir dari kepalanya.

Dia sudah pergi.

*

Seperginya Eko, aku terus kepikiran. Lagi-lagi kawan seperjuanganku pamit duluan. Sama-sama laki-laki. Aku juga dapat firasat sebelum keduanya sama-sama meninggal. Bedanya, Eko bukan gebetanku. Itu saja. Seketika aku benci pada diri sendiri. Aku benci karena firasatku akan kedekatan orang-orang dekatku dengan kematian selalu benar. Bahkan, pernah aku merasakannya jauh sebelum orangnya meninggal dan firasatnya cukup akurat, di chapter apa orang itu mangkat.

Aku tidak mau merasakan hawa kematian orang lain. Aku tidak mau dekat dengan orang-orang karena aku tidak ingin tahu seberapa dekat orang itu dengan kematian. Bagiku, itu perasaan paling menakutkan.